Panjat batang pohon kelapa

 

Masa kecilku penuh dengan permainan sederhana di halaman rumah. Di belakang rumah ada sebidang tanah kosong yang ditumbuhi pohon-pohon, salah satunya pohon kelapa yang tinggi menjulang. Pohon itu sering jadi perhatian anak-anak di sekitar rumah, karena kelapa mudanya terlihat segar, menggantung di atas, seolah-olah menantang siapa yang berani memanjat.



Suatu sore, aku dan teman-temanku berkumpul. Kami duduk di bawah pohon sambil bercanda, lalu salah satu temanku berkata,
“Kalau ada yang bisa panjat dan ambil kelapanya, nanti kita makan sama-sama!”

Awalnya semua diam, saling pandang, karena batang pohon kelapa itu lurus sekali, kulitnya keras, dan tidak ada cabang untuk berpijak. Dalam hati aku merasa takut, tapi karena ingin terlihat berani, aku mengangkat tangan dan berkata,
“Biar aku saja yang coba.”

Teman-teman langsung bersorak, memberi semangat. Aku menaruh sandal ke samping, lalu mendekati batang kelapa. Dengan kedua tangan memeluk batangnya erat-erat, aku mulai mengangkat kaki. Awalnya pelan, kaki naik sedikit demi sedikit, badan menempel pada batang pohon agar tidak jatuh.

Setiap kali aku naik, terdengar teriakan teman-teman dari bawah,

“Ayo, jangan berhenti! Sedikit lagi!”
Sorakan itu membuat semangatku semakin besar, meski tangan dan kakiku mulai terasa perih karena bergesekan dengan kulit batang yang kasar.

Beberapa kali kakiku hampir terpeleset, tubuhku goyah, dan jantungku berdegup kencang. Tapi aku tidak mau menyerah. Dengan napas terengah-engah, akhirnya aku berhasil sampai ke bagian atas dekat pelepah daun. Dari situ, aku bisa melihat atap rumah tetangga, jalan kampung yang sepi, dan beberapa anak kecil yang menatap ke arahku sambil bersorak kegirangan.



Aku mencoba meraih salah satu kelapa muda yang menggantung. Dengan hati-hati, aku putar-putar kelapa itu hingga akhirnya terlepas dari tangkainya. Tanganku bergetar menahan berat kelapa, sementara tangan satunya lagi tetap memeluk batang pohon agar tidak jatuh. Rasanya seperti memenangkan lomba besar.

Setelah itu, aku turun perlahan. Ternyata turunnya jauh lebih sulit daripada naik. Kaki harus hati-hati mencari pijakan, tangan mulai pegal, dan keringat membasahi wajahku. Tapi dengan tekad kuat, akhirnya aku sampai ke tanah dengan selamat.

Begitu kakiku menginjak tanah, teman-teman langsung bersorak dan menepuk bahuku. Mereka kagum sekaligus iri karena aku berhasil membawa turun kelapa. Kami lalu membelah kelapa itu menggunakan parang kecil yang dipinjam dari rumah, dan membaginya bersama-sama. Air kelapanya terasa dingin, manis, dan segar. Mungkin sebenarnya biasa saja, tapi karena hasil perjuangan sendiri, rasanya jadi luar biasa nikmat.



Hari itu jadi kenangan yang tidak pernah kulupakan. Meski tangan dan kakiku penuh goresan merah, aku merasa bangga karena berani mencoba sesuatu yang awalnya kupikir mustahil. Dari pengalaman sederhana itu, aku belajar bahwa keberanian dan usaha keras akan selalu menghasilkan kebahagiaan—meski hanya berupa seteguk air kelapa muda yang diminum bersama teman-teman kecilku.

Terima kasih.



Komentar